Photo by Porapak Apichodilok on Pexels.com

Lebih dari lima tahun lalu saya sempat menemukan quote yang menggugah dan membuat saya tertegun. Quote yang di dalamnya terdapat foto Mbah Nun, kode huruf EAN, dan pesan kehidupan berbunyi, “Jangan menyibukkan diri dengan, sibuk hatinya, fikirannya, darahnya, emosinya, batinnya, jiwanya, sholatnya, hajinya, untuk mencari uang. Karena derajatnya uang itu yang mencari anda, anda derajatnya adalah dicari oleh Dunia.

Rupanya, nasihat Mbah Nun kepada cucunya itu membekas di dalam diri saya, dan terus menemani langkah saya kemana pun pergi. 29 kata itu begitu bermakna dan terpatri. Semoga menjadi prinsip hidup yang bisa terus saya uri-uri. Pesan itu merefleksi tentang tujuan hidup dan apa-apa saja yang sebaiknya dilakukan dalam mengisi waktu menunggu panggilan pulang ini.

Zoom Meeting Reboan on the Sky yang digawangi penggiat Kenduri Cinta Rabu 20 Mei 2020 lalu membuka kembali folder-folder mozaik Simbah Nun dalam memori. Kebetulan edisi ini sangat spesial karena menjelang 67 tahun Simbah Guru Maulana Muhammad Ainun Nadjib.

Pak Indra Sjafri, mantan pelatih Timnas Indonesia yang kini menjabat Direktur Teknik PSSI, hadir dan membagikan perjalanannya bertemu Mbah Nun. Juga Mas Ian L. Betts yang menulis Jalan Sunyi Emha, saat ini tinggal di Bangkok Thailand, juga berbagi cerita momen pertama kali bertemu Mbah Nun pada 1998.

Tak ketinggalan tentunya, Yai Tohar, sahabat kental Mbah Nun sejak era 80’an, yang sejak awal forum setia menyimak paparan teman-teman, dan baru mendapat kesempatan merespons sekitar jam 1 dinihari waktu Indonesia, padahal forum itu dimulai sejak jam 8 malam.

Saya sendiri jadi ingat bahwa Ngaji Bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng (CNKK) pada 30 Juni 2013 di Perum ASABRI, Bumiayu, Kota Malang adalah kali pertama saya berjumpa langsung dengan Simbah Guru. Satu tahun sebelumnya, 6 Juni 2012, juga untuk pertama kalinya diajak seorang dosen, dr. Christyaji I, beserta keluarga untuk ikut diskusi di Ndalem Ustadz Fuad (Kakak Cak Nun, atau yang dikenal dengan Dr. Ahmad Fuad Effendy), di Landungsari. Tentu saja, saat itu saya belum tahu apa itu Maiyah. Meskipun secara tidak sadar sudah turut menghadiri momen pertama Maiyah Relegi di Ndalem Ustadz Fuad.

Seiring waktu, rasa ingin tahu itu mengantarkan saya pada perkenalan dengan Pak Ibnu, Jamaah Maiyah Relegi Malang yang koleksi buku langkanya luar biasa banyak, dan tentu saja pada 2014 itu saya meminjam buku-buku karya Simbah dari beliau, di samping membaca di website yang sudah ada seperti caknun.com dan kenduricinta.com untuk memenuhi rasa ingin tahu.

Belajar, Menulis, dan Bertualang Hingga Menjadi Ahli

Bagi generasi saya yang lahir di era 90-an, tentu tak pernah membayangkan bagaimana caranya mengetik dengan mesin Tik. Satu-satunya memori saya sendiri tentang mesin Tik itu adalah ketika saya melihatnya berada di ruang kepala sekolah SD saya.

Tetapi ternyata saya punya impresi khusus berkaitan dengan mesin tik ini dari mendengar kisah-kisah Mbah Nun bisa mengetik tulisan sambil menerima tamu atau momong Mas Sabrang kecil. Belum lagi kalau diingat bahwa mengetik dengan Mesin Tik membutuhkan ketelitian yang tinggi supaya tidak banyak noda tipe-x atau membuang kertas karena kesalahan ketik yang terlalu banyak.

Pada masanya, rupanya mesin Tik termasuk perangkat yang tak semua orang punya atau bisa dikatakan “mewah”, dan pernah membuat Mbah Nun “menyekolahkan” mesin tik-nya di Pegadaian untuk memenuhi kebutuhan makan.

Dalam potret yang saya tangkap, Mbah Nun sejak muda adalah manusia merdeka, yang tak ada batas dalam memaksimalkan baik ruang maupun waktu. Pernah saya mendengar kisah Mbah Nun menghabiskan malam di sepanjang jalan Malioboro ataupun sudut lain jalanan Jogja dan pulang setelah sholat Shubuh. Tak jarang pukul delapan pagi sudah muncul lagi di kantor tempat Mbah Nun bekerja pada era 70-80an itu. Jalan kaki puluhan kilometer dari Jogja ke Magelang atau berkeliling area Yogyakarta, menemani Mbah Umbu. Hingga perjalanan menyibak Negeri Belanda, Amerika dan Jerman dan Menerobos dinginnya musim dingin Siberia.

Termasuk dalam hal tidur dan puasa, belum pernah saya temui orang yang sangat jarang tidur dan kadar puasanya setinggi Mbah Nun atas kehidupan ini. Sehingga sangat sulit pula orang mendefinisikan Mbah Nun dalam satu kata atau sebuah pekerjaan statis. Beliau adalah Maestro bersama Kiai Kanjeng. Selalu menolak untuk disebut Ulama, Ustadz, Kyai. Yang mungkin lebih akrab, Mbah Nun sering disebut sebagai Budayawan.

Mbah Nun adalah penulis andal. Mulai dari esai, puisi, naskah drama, hingga skenario film. Kemampuan public speaking-nya tidak terbantahkan lagi. Maiyahan dengan durasi 6-8 jam selalu terasa pendek karena Mbah Nun selalu mampu mengolah forum dengan dinamis. Kemampuan Qiro’ahnya luar biasa, ketika bersholawat mampu membuat air mata menetes, betapa kita diantarkan oleh Mbah Nun untuk memasuki gerbang kerinduan akan hadirnya Rasulullah Saw. Membahas tema diskusi yang berat atau ringan sangat piawai. Belum lagi jika membaca puisi. Manusia multitalenta dan paripurna dalam memaksimalkan anugerah Tuhan.

Akhir-akhir ini Mbah Nun selalu berpesan kepada anak cucunya untuk terus berkembang, mengasah diri, memaksimalkan potensi diri hingga puncaknya bisa menjadi ahli. Dengan berpedoman kepada sejarah masa muda Kanjeng Nabi Muhammad, yang diberi gelar Al-Amin bahkan jauh sebelum beliau diangkat sebagai Rasul di usia 40 tahun.

Ini berarti ketika seseorang sudah dipercaya sejak dini, maka berkecimpung bidang apapun asalkan ia memberi manfaat, insyaAllah ia akan selalu diberikan kemudahan dalam menjalani kehidupan. Karena, derajatnya manusia adalah dicari oleh dunia.

Terima kasih Mbah Nun, syukur tiada kira kepada Tuhan atas hadirnya engkau menemani langkah kami menuju jalan pulang. Alles gute zum Geburtstag, Wir lieben Sie, Simbah Guru!

Albstadt, Jerman
28 Mei 2020