Photo by Tom Swinnen on Pexels.com

Ingin rasanya tulisan ini terkirimkan tepat pada waktunya. Apalah daya pergulatan dalam pikiran tak bisa dengan mudahnya diurai bait-bait paragraf mana yang harus terlebih dahulu dituliskan. Rasa syukur teramat beruntung bisa dikenalkan, dipertemukan, diperjalankan menemukan jati diri dalam Tabung Cahaya bernama Maiyah terlalu besar hingga terkadang kelu dan malu karena belum bisa memaksimalkan anugrah tersebut.

Bahkan Simbah Guru, Maulana Muhammad Ainun Nadjib pun sampai berpesan bahwa Allah membenci hambanya yang ‘menghardik waktu’. Yang meremehkan 1 menit dengan tidak menyegerakan apa yang seharusnya disegerakan. Waktu yang berlalu tanpa manfaat adalah korupsi hakikat hidup. Menganggur satu menit adalah korupsi. Kemalasan adalah kriminalitas di hadapan Allah. Tentu pesan tersebut menjadi cambuk bagi saya pribadi.

Wajah Cinta dari Islam

Sampai detik ini saya masih terkagum-kagum dengan tulisan Mbak Eva-Maria Mikutta, Mahasiswi Jerman yang berjudul A Silent Note yang ditulis pada tahun 2014 lalu. Atau catatan Mbak Kristen Leigh tahun 2013 yang berjudul The Best Day of My Entire Life. Beliau seorang Musisi dari Amerika. Kedua tulisan tersebut dimuat di website caknun.com, kala keduanya sempat beberapa bulan singgah di kota Yogyakarta.

Terulas di sana, betapa pertemuan dalam di Majelis Masyarakat Maiyah Mocopat Syafaat yang pernah dilakoni menjadi hari terbaik dalam kehidupan mereka. Mereka menemukan realitas yang sangat berbeda tentang fakta Muslim di Jawa. Merasakan bagaimana Islam sesungguhnya. Islam yang sangat beragam. Islam yang bisa memadukan antara agama, budaya dan musik. Bahkan Mbak Kristen Leigh sampai meng-upload satu nomor sholawat yang dibawakan oleh Cak Nun dan KiaiKanjeng di website pribadinya. Dengan catatan tambahan, amazing mystical prayer with sufi mystic Cak Nun.

Sementara yang lain, kekaguman itu juga melekat kepada Prof Anne K. Rasmussen. Profesor Musik dan Etnomusikologi dari Universitas California yang meneliti musik Cak Nun dan KiaiKanjeng sejak 1999.

Beragam drama-drama terorisme dengan blow up media internasional sejak peristiwa 9/11 sampai 2018 ini cukup berhasil melahirkan Islamophobia di berbagai penjuru dunia. Bahkan bagi orang yang sudah beragama Islam sendiri. Fakta tersebut cukup menyedihkan, di negara-negara Eropa misalnya sampai keluar kebijakan pelarangan menggunakan burqa, jilbab untuk anak dibawah 14 tahun.

Islam salah dikenali, dikotak-kotakkan dengan beragam klasifikasi. Dan sudah begitu jauh dari akar aslinya. Yakni Islam berakar kata dari salam yang berarti kedamaian. Prof Anne, Mbak Kristen dan Mbak Mikutta menjadi orang-orang yang sangat beruntung bertemu langsung dengan Telaga Maiyah, dan sisi lain dari sejatinya wajah Islam di dunia.

Agama yang seharusnya menjadi cahaya dalam kehidupan manusia disalahsangkai hanya sebagai pemicu perpecahan antar golongan atau bahkan perang berdarah-darah. Padahal, sebelum belajar agama hendaknya manusia belajar menjadi manusia terlebih dulu. Yang menyukai sifat kebaikan yang berlaku universal. Bukan malah menjadi sumber hilangnya rasa kemanusiaan dengan sesama lainnya. Akibat hilangnya cinta di hati, antar tetangga beda aliran agama pun bisa tidak pernah menyapa seumur hidup.

Maka Mbah Nun pernah berpesan dalam esai yang berjudul Ngeri Ngelihat Kilatan Pedang, di tengah oknum-oknum yang terus membuat propaganda menjatuhkan citra Islam:

Rajin-rajinlah menyebarkan lembutnya Islam, lapang hatinya Islam, indahnya ‘Silmi’ Islam, rasa sayang kemanusiaannya Islam. Adapun komponen, faktor atau dimensi-dimensi lainnya, cukup simpanlah di private room, di-imbu njero genthong di kamar khilafah kearifan sosial-Islam.”

Literasi Maiyah

Melihat kisah Mbak Kristen, Prof Anne dan Mbak Mikutta serta Simpul Maiyah hari ini yang semakin banyak lahir dari berbagai kota, bahkan sampai berkembang di luar negeri. Lalu tebersit kemudian tentang Literasi Maiyah.

Literasi menurut yang saya himpun memiliki arti keberaksaraan, yakni kemampuan menulis dan membaca. Budaya literasi dimaksudkan untuk melakukan kebiasaan berpikir yang diikuti oleh proses membaca, menulis yang pada akhirnya mewujud menjadi sebuah karya. Literasi ini kemudian menjadi penting mengingat perjalan panjang Maiyah yang berinduk di Padhangmbulan Jombang telah ada sejak 24 tahun silam. Tentu dalam proses perjalanan panjang tersebut Maiyah banyak sekali mendiskusikan, mendekonstruksi kajian tentang Kenegaraan, Keagamaan, Perekonomian, Kesehatan dan banyak lagi keilmuan. Seiring ada dan berkembangnya masalah yang ada di masyarakat.

Beberapa tahun lalu, tidak sengaja mengetikkan keyword Maiyah, Cak Nun dan KiaiKanjeng pada kolom pencarian Google. Terperanjatlah kemudian ketika menemukan sebuah naskah Disertasi Doctoral University of Pittsburgh, Amerika Serikat tahun 2010 yang membahas tentang Cak Nun dan KiaiKanjeng. Berlanjut kemudian menemukan sebuah buku terbitan European Association of Social Anthropologists tahun 2009 yang membahas Cak Nun, Maiyah dan KiaiKanjeng. Serta tulisan-tulisan lain baik berupa jurnal atau buku terbitan Malaysia dan Negara selain Indonesia.

Di Indonesia sendiri juga mulai banyak ditemukan riset berbentuk skripsi, tesis atau disertasi yang membahas hal sama. Namun, siapakah rata-rata orang yang menulisnya? Dalam lingkar Maiyah atau luar Maiyah? Bagaimana sudut pandangnya? Bagaimana jarak pandangnya? Ada kepentingan apa di belakangnya? Mereka menulis, diuji oleh dosen, divalidasi, dikukuhkan, dijadikan buku, disebarkan dan dipercayai banyak orang. Dari sanalah sebuah sejarah kemudian bermula.

Apakah kita akan mengulang sejarah yang sama? Kalau di masa silam sejarah Indonesia dibuat oleh mereka para pemenang perang, namun sekarang tidak. Sejarah dibuat oleh mereka yang mengoptimalisasikan kemampuan otaknya. Meskipun mereka para pembuat sejarah itu tidak “mengalami”, “merasakan” nuansa dan hal-hal faktor lain yang terjadi di lapangan. Apakah kita puas menjadi Jamaah pendengar saja? Seperti yang didengungkan oleh Pak Toto. Atau mulai berperan menyalakan cahaya lewat kata dan metoda lainnya?

Dalam peringatan meninggalnya Bapak Agung Waskito (Sutradara Pementasan Lautan Jilbab), Cak Nun pernah menjelaskan mengenai mangga dan pelok. “Kalau dalam sastra, ada yang disebut strukturalisme. Yaitu kalau Anda membaca karya sastra, Anda tidak akan mendapatkan apa-apa dari sastra itu. Kalau tidak dengan mempelajari penulisnya. Maka kemudian banyak pengamat atau kritikus sastra yang mengarahkan perhatian untuk mempelajari riwayat penulisnya. Jika Anda makan buah, Anda harus menyatu dengan daun, batang, akar, tanah, dan lain-lainnya. Yang menjadi milieu bagi lahirnya buah itu. Begitu pula yang hendak digapai Maiyah adalah tauhid dengan Allah. Dan tidak mungkin Anda bertauhid tanpa menyatu dengan bulatan sejarah umat manusia dan bulatan alam semesta itu sendiri.”

Cak Nun memaparkan bahwa selama ini orang sudah disuguhi mangga yang sudah teriris dan tinggal dimakan melalui berbagai bentuk-bentuk siap makan. Tetapi perlu saat-saat lain di mana orang harus belajar dari sejarah, menilik sebuah perjuangan. Bukan sekadar siap menikmati hidup dan yang sudah disuguhkan hari ini.

Pesan Cak Nun Menjelang Tumbuk Ageng di penghujung pertemuan volunteer penulisan April 2015 lalu, “Kalau engkau ingin lebih membangun kehancuran di masa depan dirimu, masyarakatmu, bangsa dan negerimu, serta ummat kekhalifahanmu, tutuplah pintu masa silam. Dan simpan ia di ruang hampa kegelapan sampai ke relung ketiadaan. Toh ‘innallaha khobirun bimata’malun’, Allah Maha Mengabarkan segala apapun yang kita lakukan.”

Cak Nun berkali-kali juga memberikan pesan, “Iki sek tak jelaske ora ono ning buku ngendi wae, tas wae nemu, elingo lan tuliso dewe,” (ini yang baru saja saya jelaskan tidak ada di buku manapun, baru saja ditemukan, muncul di pikiran, ingat dan tulislah sendiri).

Jika Jamaah Maiyah terus berkembang secara kuantitatif, jangan sampai jumlah yang ada menjadi buih. Di antara penjagaan ilmu bisa dititipkan lewat secarik rangkaian kata yang mungkin bisa kemudian berkembang menjadi sebentuk buletin, majalah, buku atau bentuk lainnya. Semakin maraknya media sosial dan kemudahan lainnya, penulisan dan literasi jangan sampai luput terlewatkan. Baru kemudian akhirnya menyesal ketika ada orang asing (luar negeri) atau luar Maiyah yang menulis tidak sesuai dengan fakta yang ada.

Kita tidak bisa dan tidak mungkin hanya mengandalkan segelintir orang untuk memulai penulisan dan pengklasifikasian ilmu Maiyah. Diperlukan kesadaran banyak orang untuk menuliskan sejarahnya sendiri jika memang sudah terbukti mencerahkan diri. Bahkan sampai tataran lebih luas.

Literasi memang tidak mudah. Namun yang lebih berat lagi ialah meninggalkan anak cucu tanpa pedoman. Tanpa pengetahuan akan sejarah yang pernah ditulis dan ditorehkan oleh Mbah-mbah para pendahulunya. Maka, marilah bersama mulai menghimpun yang terserak. Menghargai proses. Generasi Maiyah hari ini harus mewariskan Teks.

Penghujung Sunyi

Berlomba dengan waktu karena sekedip mata langsung menjadi masa lalu. Disarikan dari catatan Muhammad yang Bercahaya oleh Mbah Nun. Bahwa kita perlu mengejar sebanyak mungkin pemahaman dan pengertian. Lebih selamat dan lebih kreatif menjalani hidup dari sekarang dengan ‘berpikir pahit.’ Semua pelaku Maiyah wajib berpikir di pagi hari tatkala dia bisa. Tidak perlu menunggu siang.

Maiyah, usaha setiap pribadinya baik sendiri maupun bersama-sama untuk lebih dekat dengan Allah Swt dan Kanjeng Nabi Rasulullah Saw. Apakah jalan sunyi Maiyah ini ada ujungnya? Apakah perjuangan ada akhirnya? Salah satu yang kita sesali adalah pernah menghentikan perjuangan tatkala bertugas di dunia. Maiyah, menaburkan cinta kebersamaan, mencincini Nusantara. Tutup Mbah Nun dalam tulisannya Ujung Jalan Sunyi.

Pamungkas, Sugeng Ambal Warso Maulana Muhammad Ainun Nadjib, Alles gute zum Geburtstag. Terima kasih telah menyorongkan Rembulan dan memercikkan Cahaya serta menjadi Samudra juga Telaga bagi kendi-kendi kecil langkah kaki kami menuju jalan pulang.

Jerman, 27 Mei 2018

Nafisatul Wakhidah