Photo by Skitterphoto on Pexels.com

Mengangkat tema  Romantisme Masa Lalu Optimisme Masa Depan, Mas Tito Prabowo Ketua Masjid Indonesia Frankfurt berharap dengan digelarnya acara bersama Cak Nun para peserta dapat memperoleh pencerahan terkait keadaan aktual bangsa, motivasi, inspirasi khususnya bagi generasi yang nantinya pulang membangun Indonesia, dari seorang tokoh Bangsa yang tidak hanya hadir dari kalangan elit pemimpin Indonesia namun juga dibawah bersama rakyat. “Dan harapan kami tersebut Alhamdulillah terpenuhi. Persatuan umat dan kebangkitan Indonesia adalah sebuah keniscayaan, tinggal bagaimana kita menyambut kesempatan itu apakah mau ambil bagian di dalamnya atau tidak, “Pungkas Mas Tito.

 

Berlangsung selama 3 jam di Masjid yang di Jerman dikenal dengan nama Indonesisch-moslemische Gemeinde in Frankfurt & Umgebung e.V. Cak Nun memulai dengan penegasan  untuk selalu berpijak bahwa kebenaran mutlak itu hanya pada Allah Swt. Namun pemahaman kita akan Kebenaran mutlak pada Allah itu yang relatif.

 

Sedang agama menurut Cak Nun ialah informasi yang kita tidak punya dan Allah sendiri yang bisa memberitahukannya kepada kita. Kita bersama mengetahui bahwa Allah Swt adalah Tuhan dari KalamNya, Al Qur’anul Kariim. Sementara itu, Syarat sebuah Agama itu sesungguhnya ialah yang membuat dan mengesahkannya adalah Tuhan, yang memberinya nama agama tersebut juga Tuhan, Allah juga memberikan perintah langsung untuk beribadah. Ibadah sendiri terbagi menjadi dua yakni Ibadah Mahdhoh dan Muamalah. Contoh dari Ibadah Mahdhoh seperti Berwudhu, Tayammum, Sholat, Puasa, Haji, Umroh yang mana semuanya ada berdasar dalil, dengan tatacara yang dicontohkan Rasulullah Muhammad Saw dan asas pengerjaannya “taat”. Kunci dari Ibadah Mahdhoh ini menurut Cak Nun, “Jangan lakukan apapun kecuali yang telah Allah suruh untuk dilakukan”. Sedang ibadah Muamalah kuncinya, “Lakukan apa saja kecuali yang Allah larang, ”Papar Cak Nun.

 

Cak Nun kemudian bertanya kepada para jamaah, Islam lahir sejak kapan? Banyak jamaah yang menyangka bahwa Islam lahir sejak Nabi Muhammad berdakwah tentang Islam di Mekah, padahal nama Bapak Nabi Muhammad sendiri saja bernama Abdullah, mengandung suku kata Allah di dalamnya. Sehingga kemudian Cak Nun menjelaskan bahwa Islam lahir sejak sebelum Nabi Adam As ada, yakni ketika Allah menciptakan Nur Muhammad. Karena cintaNya pada Nur Muhammad-lah  alasan di-ada-kannya dunia ini. Islam ada dalam diri setiap orang sejak orang tersebut dilahirkan ke dunia. Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah. Namun, kesadaran adanya Islam dalam diri kita itu yang memerlukan proses waktu untuk memahami dan mengamalkannya. Sebab Islam ialah berlakunya semua yang baik dan benar dalam dirimu. Dalam Al-Qur’an juga telah disebutkan bahwa Agama bagi Allah itu Islam.

 

Sesi berikutnya seorang jamaah bertanya tentang Bagaimanakah masa depan Indonesia yang menurut banyak info akan mengalami bonus demografi penduduk pada kurun menuju tahun 2045 nanti. Menjawab masa depan Indonesia, rasa-rasanya kita berputus asa jika melihat apa yang dilakukan pemerintah dalam mengelola Negara. Kesalahan rakyat sekecil apapun menjadi begitu sensitif di mata penguasa, sedang mereka para perampok harta Negara dengan santainya melenggang tanpa proses hukum semestinya. Hari ini banyak lulusan sarjana menganggur di negeri sendiri sedang Asing Aseng yang tak cukup punya keahlian dengan mudah masuk menjadi tenaga kerja pada perusahaan yang memiliki afiliasi asal usul bangsa yang sama, mayoritasnya bangsa yang berasal dari sebelah Utara, konon kabarnya negeri asalnya Ya’juj dan Ma’juj.

 

Namun, Cak Nun juga mengungkapkan banyak paket bahagia bagi orang Indonesia, khususnya bagi muslim, ketika mendapat masalah bisa lebih mendekatkan kepada Tuhan dengan banyak wiridan, sholawatan, membaca kitab suci, dan lainnya. Sedang bagi bangsa Barat atau yang tidak mengenal Islam atau Tuhan dalam kamus kehidupannya, mereka melarikan diri dari kesulitan tersebut dengan Mabuk, Judi dan pelarian negatif lain. Mereka tidak mempunyai mekanisme spiritual dalam diri dan kehidupannya. Dipuncaki dengan doa, acara pun dipungkasi dengan foto bersama Cak Nun dan Ibu Novia Kolopaking.

 

*****

Flashback seharian. Siang itu, 22 Desember 2016. Kabut tebal menyelimuti kota Frankfurt am Main. Suhu 0 sampai 1 derajat menemani, jaket tebal, kaos tangan tak boleh sampai luput tertinggal. Ternyata sudah hampir 9 bulan sejak terakhir kali dipertemukan secara fisik dengan Beliau. Pertama bersua, terlihat tubuhnya kian menua, kerut mata yang dalam, namun sorot tegas berwibawa itu tak pernah lekang. Beberapa kali, ekor mataku memergoki Beliau sesekali mengumandangkan sholawat lirih. Semangatnya masih sama, tapi kelelahan itu tetap tergambar dari raut wajah teduhnya setelah menempuh perjalanan panjang dan menjadi samudra dari segala keluh dan tangis Bangsa tercinta.

 

Setelah terakhir pada tahun 2004 bersama Kiai Kanjeng, akhirnya di penghujung tahun ini Simbah Guru (Cak Nun) diperjalankan kembali untuk mengecas semangat generasi millennial Indonesia yang sedang berada di Jerman, Belgia dan Belanda. Ku nikmati setiap obrolan yang Beliau lemparkan, ku rasakan kegetiran itu dan sesekali ku coba menimpalinya. Sungguh suatu momen yang tak ingin sedetik pun terlewatkan.

 

Usai Simbah Guru memberikan pencerahan bagi warga Indonesia di Frankfurt dan kota sekitarnya, rasanya seperti ada yang kurang. Yah, merindukan nikmatnya bisa bersholawat bersama Beliau, melantunkan puja puji bagi Baginda Terkasih, Nabi Muhammad Saw. Mendengar lantunan adzan di negeri ini saja sudah merupakan kenikmatan tiada tara, apalagi bisa Maiyahan bersama Simbah Guru dan Mbak Via. Maka, nikmat Tuhan yang mana lagikah yang akan kamu dustakan?

 

Tak terasa 28 Desember 2016 telah tiba,  pagi itu dengan sabar kunanti burung besi itu melesat mengantar Simbah menemui kekasih-kekasih hati yang lain, untuk menebarkan cahaya ditanah air tercinta disana. Ku lepas ragamu kembali Mbah, dengan bibir kelu dan langkah gontaiku. Semoga kami-kami bisa mengamalkan ilmu dan percik percik cahaya yang telah Engkau torehkan.

 

Rasa, Kehilangan

Hanya akan ada

Jika kau pernah

Merasa memilikinya

-Letto, Memiliki Kehilangan-

 

 

4 Januari 2017

Hessen, Jerman

Nafisatul Wakhidah

 

*Pernah dipublikasikan di Buletin Maiyah Jatim edisi Januari 2017